Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 2,5% pada 2025

Ekonomi24 Dilihat

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 2,5% pada 2025. Nantinya tarif cukai MBDK ditargetkan untuk naik secara progresif hingga mencapai maksimal sebesar 20%.

Ketua BAKN DPR Wahyu Sanjaya mengatakan untuk mengendalikan dan mengurangi dampak negatif konsumsi yang sangat tinggi, BAKN mendorong agar pemerintah mulai menerapkan cukai MBDK untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Dengan adanya penerapan cukai juga akan meningkatkan penerimaan negara dari cukai dan mengurangi ketergantungan dari cukai hasil tembakau.

“BAKN merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan sebesar 2,5% pada 2025 dan secara bertahap sampai dengan 20%,” ucapnya dalam rapat kerja di Gedung DPR pada Selasa (10/9/2024).

Dalam buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 disebutkan pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/atau pemanis yang berlebihan.

Selain itu, untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yang rendah gula sehingga akhirnya diharapkan dapat mengurangi eksternalitas negatif bagi kesehatan masyarakat, yaitu dengan menurunnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) pada masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengatakan pengenaan tarif cukai MBDK akan dijalankan pemerintah dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian pada 2025.

Dia menegaskan pengenaan cukai MBDK akan ditetapkan pada pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Namun, pihaknya akan mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan terkait saat kebijakan tersebut dijalankan.

“Tergantung pemerintah tahun depan, tentunya semua aspek (akan diperhatikan). Jadi itu hanya masukan,” kata Askolani.

Sebelumnya peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan munculnya kebijakan cukai MBDK tidak terlepas dari potensi eksternalitas negatif yang terjadi karena minuman berpemanis buatan.

Ini menjadi penting mengingat beban kesehatan yang bisa timbul dari mengonsumsi secara berlebihan minuman berpemanis buatan itu relatif tinggi. Pemerintah perlu masuk di sana untuk mengurangi risiko membesarnya beban kesehatan dari minuman berpemanis yang dikonsumsi secara berlebihan.

“Sudut pandang mengenai penerapan cukai MBDK ini jangan hanya dilihat dari upaya pemerintah dalam mengerek penerimaan. Namun penerapan cukai tersebut harus dilihat dari sekali lagi upaya menurunkan beban resiko kesehatan yang bisa muncul dari mengonsumsi minuman buat pemanis buatan secara berlebihan,” tutur Yusuf.