Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, keterbatasan model electronic vehicle (EV) atau kendaraan listrik menjadi salah satu alasan mobil listrik masih sepi peminat. Penjualannya saat ini masih tergolong rendah, meski pun pemerintah sudah menggulirkan program subsidi atau insentif pembelian mobil listrik.
Insentif ini diberikan dengan persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40% untuk mobil listrik dan TKDN minimal 20% untuk bus listrik. Dalam program ini, terdapat dua model kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) roda empat yang memenuhi kriteria, yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air eV.
“Pilihannya tidak banyak, hanya dua merek, hanya Wuling sama Hyundai. Warnanya sih banyak, tapi modelnya enggak banyak. Jadi ini yang coba kita handle,” kata Deputi Bidang Koordinaasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin dikutip Antara, Jumat (2/6/2023).
Rachmat menuturkan, masalah yang paling fundamental dalam membangun industri EV adalah isu permintaan. Saat ini, Indonesia belum memiliki EV dengan harga yang terjangkau. EV jauh lebih mahal dari kendaraan berbahan bakar minyak dengan kualitas setara, bahkan perbedaannya bisa mencapai 30%-40%.
Selain menghadapi masalah permintaan, tantangan suplai juga menjadi isu yang harus dihadapi pemerintah agar EV bisa diadopsi. Kendati demikian, Rachmat tetap optimistis penjualan kendaraan listrik bisa lebih banyak lantaran kepemilikan kendaraan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dalam kesempatan sebelumnya juga menyampaikan hal yang sama terkait masih sepinya peminat mobil listrik.
Menurut Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi, masih sepinya minat masyarakat untuk membeli mobil listrik lantaran kendaraan listrik masih tergolong baru di Indonesia. Apalagi saat ini baru ada dua merek yang mendapatkan insentif.
“Kalau barangnya yang dikasih (insentif, Red) itu adalah barang yang sudah eksis di Indonesia, harusnya jalan. Saya kasih contoh, waktu 2020 terjadi pandemi Covid-19, kami berdiskusi dengan pemerintah, akhirnya di Januari 2021 kita telurkan yang namanya subsidi atau pengurangan pajak barang mewah untuk produk yang sudah dijual di Indonesia. Langsung penjualannya loncat. Tetapi kalau mobil listrik, ini kan barang baru. Hidrogen disubsidi belum tentu laku di Indonesia. Jadi beda situasinya,” kata Nangoi.
Nangoi mengatakan, langkah yang dilakukan pemerintah saat ini untuk mendukung akselerasi mobil listrik sebetulnya sudah tepat. Tidak sekadar pemberian subsidi, infrastrukturnya juga mulai dibenahi, salah satunya membangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Gaikindo sendiri salah satu perannya adalah mensosialisasikan manfaat mobil listrik kepada lebih banyak masyarakat. Apalagi saat ini masih ada kekhawatiran dari masyarakat dalam membeli mobil listrik.
“Kita edukasi terus keuntungan dan kerugiannya. Karena penduduk Indonesia itu kalau beli mobil, baru mau beli mobil hari ini sudah langsung nanya harga jual mobil bekasnya nanti seperti apa. Kita belum tahu harga mobil listrik bekas. Jadi walau harganya dikasih turun 10%, tapi kalau saat dijual turunnya 50%, nanti dulu. Begitu kira-kira. Jadi harus kita yakinin terus, pelan-pelan,” kata Nangoi.