Masih sepinya peminat mobil listrik, meskipun sudah dapat subsidi

 Masih sepinya peminat mobil listrik, meskipun sudah dapat subsidi

Otomatif110 Dilihat

Masih sepinya peminat mobil listrik, meskipun sudah dapat subsidi, menunjukkan masyarakat Indonesia tidak bisa langsung beralih dari kendaraan konvensional atau internal combustion engine vehivle (ICEV) ke mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV). Apalagi baru ada dua model yang mendapatkan insentif pembelian mobil listik, yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air Ev.

Di sisi lain, masyarakat justru lebih memilih mobil hybrid atau hybrid elevtric vehicle (HEV) yang tidak mendapatkan subsidi. Kendaraan jenis ini lebih banyak pemainnya, termasuk merek besar seperti Toyota, Mitsubishi, hingga Suzuki.

Sesuai namanya, mobil hybrid merupakan perpaduan antara dua jenis sumber tenaga, yaitu mesin konvensional dan motor listrik. Ini membuat laju kendaraan lebih bertenaga, hemat bahan bakar, dan minim emisi. Tak mengherankan jika penjualan mobil hybrid jauh lebih baik dibandingkan BEV.

Pada Januari-Mei 2023, penjualan BEV hanya mencapai 4.648 unit. Sebaliknya, penjualan mobil hybrid yang terdiri atas HEV dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) tembus 12.128 unit. Artinya penjualan hybrid tiga kali lebih banyak dibandingkan BEV.

Pengamat otomotif dari LPEM-FEB Universitas Indonesia (UI) Riyanto menyampaikan, masyarakat Indonesia tidak bisa langsung bermigrasi dari mobil konvensional ke mobil listrik murni, melainkan harus transisi terlebih dahulu ke mobil hybrid.

“Pilihan paling rasional bagi konsumen di Indonesia saat ini adalah mobil hybrid. Jika suatu saat ditemukan BEV yang harganya lebih murah, fungsi, dan lain-lainnya lebih dari ICEV, ya orang-orang enggak usah disuruh juga akan membeli BEV,” kata Riyanto kepada Investor Daily, dikutip Selasa (20/6/2023).

Masih Sepi Peminat, Transisi Menuju Mobil Listrik Tidak Bisa Buru-buru
PT Toyota Astra Motor (TAM) meluncurkan model terbaru All New Yaris Cross yang dilengkapi pilihan hybrid engine dan juga opsi gasoline engine, di Jakarta, Senin, 15 Mei 2023.

Menurut Riyanto, dengan harga BEV yang masih di atas Rp 800 juta, jelas masih jauh dari kantong kebanyakan orang Indonesia. Masyarakat di Tanah Air sebagian besar baru bisa menjangkau mobil seharga Rp 300-an juta. Memang sudah ada BEV yang dibanderol sekitar Rp 300 juta. Tapi secara fungsi dan kualitas dinilai masih di bawah kendaraan konvensional dengan harga yang sama. Belum lagi masih terbatasnya alat pengisian daya atau charging station.

“Soal insentif, ini bukan persoalan efektif atau tidak efektif. Dengan insentif pun, BEV belum menarik bagi konsumen. Game changer-nya adalah teknologi baterai yang harganya lebih murah, berukuran kecil, dan bisa menempuh jarak yang jauh dalam sekali charge,” papar dia.

Sementara itu menurut Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi, masih sepinya minat masyarakat untuk membeli mobil listrik lantaran kendaraan listrik masih tergolong baru di Indonesia. Apalagi saat ini baru ada dua merek yang mendapatkan insentif, yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air Ev. Selain itu, masyarakat juga mempertimbangkan harga jualnya kembali.

“Kita edukasi terus keuntungan dan kerugiannya. Karena penduduk Indonesia itu kalau beli mobil, baru mau beli mobil hari ini sudah langsung nanya harga jual mobil bekasnya nanti seperti apa. Kita belum tahu harga mobil listrik bekas. Jadi walau harganya dikasih turun 10%, tapi kalau saat dijual turunnya 50%, nanti dulu. Begitu kira-kira. Jadi harus kita yakinin terus, pelan-pelan,” kata Nangoi.

Hal senada disampaikan pakar otomotif Bebin Djuana. Ia memaklumi kalau masyarakat Indonesia tidak bisa langsung switching dari ICEV ke BEV.

“Sejak awal sudah bisa diprediksi bahwa masyarakat perlu waktu untuk transisi ke BEV melalui hybrid karena tidak serta-merta tersedia stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU, Red) di seluruh Indonesia. Belum lagi, harga BEV yang masih mahal,” ujar Bebin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *