Pemerintah Indonesia telah menggulirkan program insentif untuk pembelian mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) yang membuat harga jualnya jadi lebih murah. Namun sejauh ini program tersebut masih sepi peminat. Apalagi baru ada dua model yang mendapatkan insentif karena telah memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40%, yaitu Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air Ev.
Di sisi lain, masyarakat justru lebih memilih mobil hybrid atau hybrid elevtric vehicle (HEV) yang tidak mendapatkan subsidi. Sesuai namanya, mobil hybrid merupakan perpaduan antara dua jenis sumber tenaga, yaitu mesin konvensional dan motor listrik. Ini membuat laju kendaraan lebih bertenaga, hemat bahan bakar, dan minim emisi. Tak mengherankan jika penjualan mobil hybrid jauh lebih baik dibandingkan BEV.
Pada Januari-Mei 2023, penjualan BEV hanya mencapai 4.648 unit. Sebaliknya, penjualan mobil hybrid yang terdiri atas HEV dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) tembus 12.128 unit. Artinya penjualan hybrid tiga kali lebih banyak dibandingkan BEV.
Alasan Pilih Hybrid
Masyarakat lebih menggandrungi mobil hybrid ketimbang BEV karena sejumlah alasan, seperti infrastruktur BEV yang belum lengkap, teknologinya belum teruji, keselamatan berkendara masih meragukan, layanan purna jual belum masif, dan harga bekasnya belum meyakinkan. Alasan lainnya, kendati sudah disubsidi, BEV masih dibanderol selangit.
Pengamat otomotif dari LPEM-FEB Universitas Indonesia (UI) Riyanto menyampaikan, masyarakat Indonesia tidak bisa langsung bermigrasi dari mobil konvensional ke mobil listrik murni, melainkan harus transisi terlebih dahulu ke mobil hybrid.
“Pilihan paling rasional bagi konsumen di Indonesia saat ini adalah mobil hybrid. Jika suatu saat ditemukan BEV yang harganya lebih murah, fungsi, dan lain-lainnya lebih dari internal combustion engine vehivle (ICEV), ya orang-orang enggak usah disuruh juga akan membeli BEV,” kata Riyanto kepada Investor Daily, dikutip Sabtu (17/6/2023).
Riyanto menyampaikan, dengan harga BEV yang masih di atas Rp 800 juta, jelas masih jauh dari kantong kebanyakan orang Indonesia. Masyarakat di Tanah Air sebagian besar baru bisa menjangkau mobil seharga Rp 300-an juta. Memang sudah ada BEV yang dibanderol sekitar Rp 300 juta. Tapi secara fungsi dan kualitas dinilai masih di bawah kendaraan konvensional dengan harga yang sama. Belum lagi masih terbatasnya alat pengisian daya atau charging station.
Menurut Rianto, masyarakat Indonesia sejatinya bisa langsung switching dari ICEV atau kendaraan konvensional ke BEV. Syaratnya, terjadi revolusi pada teknologi BEV yang membuat harganya mendekat ke ICEV. Juga, harus banyak charging station dengan waktu pengisian yang cepat.
“Soal insentif, ini bukan persoalan efektif atau tidak efektif. Dengan insentif pun, BEV belum menarik bagi konsumen. Game changer-nya adalah teknologi baterai yang harganya lebih murah, berukuran kecil, dan bisa menempuh jarak yang jauh dalam sekali charge,” papar dia.
Negara maju yang bisa dijadikan kiblat BEV adalah Norwegia. Negara Skandinavia itu langsung switching dari ICEV ke BEV. “Tiongkok hampir begitu. Tapi ketika subsidi dicabut, pasar BEV-nya turun, sebaliknya hybrid meningkat,” ucapnya.
Riyanto melihat ke depan mobil hybrid akan lebih berkembang. Karenanya, pemerintah perlu memperbanyak insentif untuk mobil hybrid agar transisi ke BEV berlangsung mulus. Harga mobil listrik, baik BEV maupun HEV dan PHEV, akan turun signifikan dan terjangkau masyarakat luas setelah ekosistemnya terbentuk dan digunakan secara masif di dalam negeri.
Hal senada disampaikan pakar otomotif Bebin Djuana. Ia memaklumi kalau masyarakat Indonesia tidak bisa langsung switching dari ICEV ke BEV.
“Sejak awal sudah bisa diprediksi bahwa masyarakat perlu waktu untuk transisi ke BEV melalui hybrid karena tidak serta-merta tersedia stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU, Red) di seluruh Nusantara,” kata dia.
Lagi pula, masyarakat Tanah Air gemar bepergian. Indonesia juga merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas. Belum lagi, harga BEV yang masih mahal. Sejauh ini baru ada dua merek BEV yang diproduksi di dalam negeri. “Insentif untuk mereka pun mekanismenya masih tersendat,” ujar Bebin.