Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander
Marwata mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 36
Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materi itu diajukan Alex bersama dengan dua orang
pegawai lembaga antirasuah tersebut.
Dua pegawai yang dimaksud adalah Auditor Muda KPK Lies Kartika Sari dan Pelaksana Unit Sekretaris Pimpinan Maria Fransiska.
Permohonan uji materi tersebut disampaikan pada Senin, 4/11/2024 lalu dengan Periati BR Ginting, Ario Montana dan Abdul Hakim dari GSA Law Office ditunjuk sebagai kuasa hukum.
“Para pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian material terhadap norma Pasal 36 huruf (a) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),” bunyi permohonan Alex dkk, dikutip Kamis, 7/11/2024.
Diketahui, Pasal 36 huruf a UU KPK berisi: “Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.”
Alex kemudian menguji norma tersebut terhadap Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 28 D Ayat 1 sendiri mengatur setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sedangkan dalam Pasal 28 I Ayat 2 mengatur setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu.
Alex merasa bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan Pasal 36 huruf a UU KPK yang berlaku itu. Hal ini lantaran pertemuannya dengan Eko Darmanto yang merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang sekaligus mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta akhirnya diproses oleh Polda Metro Jaya.
Padahal menurut pandangan Alex, pertemuan tersebut hanya untuk mendengarkan laporan terkait dugaan korupsi yang disampaikan oleh Eko.
Terlebih lagi, pertemuan tersebut dilakukan secara resmi di
Kantor KPK dengan melibatkan staf yang membidanginya.
Alex menyebut bahwa pertemuan itu dilakukan sebagai
pemenuhan tugas dan kewenangannya sebagai pimpinan KPK.
“Pertemuan tersebut selanjutnya oleh Kepolisian Daerah Metro
Jaya dilakukan proses penyelidikan dengan dugaan tindaka pidana sebagaimana
Pasal 36 huruf a ini (Bukti P-22). Hal ini menunjukkan secara nyata akibat
ketidakjelasan batasan atau kategori larangan ‘hubungan …. dengan alasan apa
pun’ pada Pasal a quo telah menyebabkan pemohon 1 harus menjadi terlapor atas
dugaan tindak pidana,” ungkap Alex dalam permohonannya.
“Sehingga akibat norma Pasal 36 huruf a tersebut yang tidak
berkepastian hukum, perbuatan yang dilakukan secara beriktikad baik bahkan
memenuhi kewajiban hukum pemohon 1 sebagai aparat penegak hukum telah dipandang
dan karenanya dilakukan proses penyelidikan atas peristiwa yang dikategorikan
telah melanggar ketentuan Pasal 36 huruf a UU KPK,” lanjut dia.
Para pemohon yang merupakan pegawai KPK pun juga merasa hak
konstitusionalnya dirugikan untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam
mengemban tugas dan tanggung jawab sesuai dengan perintah Undang-undang.
“Kerugian konstitusional akibat rumusan norma Pasal 36 Huruf
a jo Pasal 37 UU KPK tersebut secara nyata juga telah mengakibat kerugian
kepada para pegawai, yaitu tidak jarang pegawai KPK telah dipanggil dalam
proses penyelidikan dugaan pelanggaran norma Pasal 36 huruf a tersebut yang
tidak berkepastian hukum, oleh karena itu akibat ketidakpastian dan
diskriminasinya ketentuan Pasal 36 huruf a UU KPK telah juga merugikan pemohon
2 dan pemohon 3 sebagai pegawai KPK,” sambungnya.
Alex juga turut menguraikan soal diskriminasi dalam
permohonannya tersebut. Menurut dia, dalam menjalankan tugas, pimpinan dan
pegawai KPK mendapatkan perlakuan yang berbeda atau diskriminasi jika
dibandingkan dengan pejabat Kejaksaan maupun Kepolisian.
Tidak ada konsekuensi hukum ketika pejabat Kejaksaan atau
Kepolisian menerima kunjungan masyarakat yang ingin menyampaikan laporan, aduan
atau informasi.
“Bahwa sebagai akibat dari berlakunya Pasal 36 huruf a jo
Pasal 37, para pemohon selaku pimpinan dan pegawai KPK mengalami kerugian
tercederainya hak konstitusional para pemohon berupa ketentuan yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya, di satu sisi diperintahkan (pada Pasal
6 UU KPK) sementara di sisi lain dilarang (Pasal 36, Pasal 37 UU KP)
diskriminatif dan tidak berkepastian hukum sehingga dengan tegas dapat kami
sampaikan bahwa keberlakuan Pasal a quo merugikan hak konstitusional pemohon,”
tulis permohonan itu.
Dalam petitumnya, Alex dkk pun meminta kepada MK untuk
menyatakan bahwa Pasal 36 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.