Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Sri Lanka mengajukan dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan melaksanakan restrukturisasi utang serta kontrol inflasi

Jumat, 24 Januari 2025 | Januari 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-23T21:10:00Z

 



Gagal memenuhi kewajiban utang menjadi penyebab utama kebangkrutan sejumlah negara, yang sering kali dipicu oleh faktor internal seperti kebijakan ekonomi yang buruk, korupsi, atau ketergantungan yang berlebihan pada utang luar negeri.

Di sisi lain, faktor eksternal seperti krisis global, fluktuasi harga komoditas, atau krisis keuangan juga dapat memperburuk kondisi ekonomi suatu negara, menyebabkan utang negara menumpuk hingga tak tertanggungkan.

Dihimpun dari berbagai sumber, berikut adalah tujuh negara yang pernah mengalami kebangkrutan karena gagal memenuhi kewajiban utang mereka:

1. Sri Lanka: Krisis ekonomi parah di tahun 2022

Sri Lanka dinyatakan bangkrut pada tahun 2022 setelah gagal membayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar atau sekitar Rp 816 triliun. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, mengakui bahwa ini adalah salah satu krisis terburuk dalam sejarah negara tersebut.

Untuk mengatasi krisis ini, Sri Lanka mengajukan dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan melaksanakan restrukturisasi utang serta kontrol inflasi. Sri Lanka diproyeksikan akan pulih pada tahun 2026.

2. Lebanon: Krisis ekonomi dan konflik sosial

Lebanon mengalami kebangkrutan pada tahun 2020 setelah gagal membayar utang sebesar US$ 90 miliar atau Rp 1.440 triliun, yang setara dengan 170% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu.

Krisis ini diperburuk oleh pengumuman pajak baru, termasuk pajak penggunaan WhatsApp, yang memicu protes besar-besaran. Nilai mata uang Lebanon anjlok hingga 90%, menyebabkan daya beli masyarakat tergerus. Konflik bersenjata yang berkepanjangan membuat pemulihan Lebanon sulit hingga kini.

3. Islandia: Bangkit dari kebangkrutan 2008

Islandia menghadapi kebangkrutan pada tahun 2008 setelah utang negara mencapai US$ 85 miliar atau sekitar Rp 1.360 triliun, yang sepuluh kali lipat lebih besar dari PDB negara itu. Krisis ini dipicu oleh kebangkrutan tiga bank terbesar di Islandia, yang mengarah pada depresi ekonomi. Namun, dengan langkah pemulihan yang tepat, Islandia berhasil kembali stabil.

Pada tahun 2014, ekonomi mereka tumbuh 1% lebih besar dibandingkan sebelum krisis, dan pada 2023 ekonomi Islandia tercatat tumbuh sebesar 5%.

4. Argentina: Krisis utang terbesar di tahun 2001

Argentina mengalami kebangkrutan pada tahun 2001 dengan utang sebesar US$ 145 miliar atau sekitar Rp 2.320 triliun. Krisis ini dipicu oleh kebijakan mempertahankan nilai tukar tetap peso terhadap dolar AS, yang meningkatkan utang publik. Korupsi yang meluas memperburuk situasi.

Argentina meluncurkan berbagai paket ekonomi untuk mengatasi krisis, namun negara ini masih menghadapi tantangan inflasi tinggi dan pengangguran.

5. Rusia: Krisis rubel 1998

Rusia menghadapi kebangkrutan untuk kesembilan kalinya pada tahun 1998. Krisis ini dipicu oleh krisis keuangan Asia dan penurunan harga minyak dunia, yang menyebabkan utang Rusia mencapai US$ 17 miliar atau Rp 270 triliun.

Inflasi melonjak hingga 80% dan bursa saham kehilangan 75% nilainya. Meski begitu, pada tahun 2024, ekonomi Rusia menunjukkan pemulihan dengan pertumbuhan 4,2%, berkat sektor manufaktur dan minyak.

6. Meksiko: Krisis utang pada 1982

Meksiko dinyatakan bangkrut pada tahun 1982 karena gagal membayar utang sebesar US$ 80 miliar atau sekitar Rp 1.280 triliun. Krisis ini dipicu oleh depresiasi peso sebesar 50% dan ekspansi fiskal besar-besaran oleh pemerintah.

Dampak kebangkrutan ini merembet ke negara-negara Amerika Latin, memicu krisis utang regional. Meksiko belajar dari pengalaman tersebut dan kini menjadi ekonomi terbesar ke-12 dunia dengan fokus pada sektor manufaktur dan investasi asing.

7. Zimbabwe: Krisis ekonomi 2008

Zimbabwe tercatat mengalami kebangkrutan pada tahun 2008 dengan utang sebesar US$ 4,5 miliar atau Rp 71,55 triliun. Situasi semakin memburuk dengan tingkat pengangguran yang mencapai 80% dan hiperinflasi yang membuat uang tidak lagi bernilai. Masyarakat memilih untuk bertransaksi menggunakan sistem barter, menggantikan uang yang tidak berguna.

Dari tujuh negara yang pernah mengalami kebangkrutan ini, kita bisa melihat pentingnya pengelolaan utang yang bijak dan kebijakan ekonomi yang cermat. Meskipun krisis ekonomi bisa menghancurkan, negara-negara ini menunjukkan bahwa dengan langkah pemulihan yang tepat, kebangkitan ekonomi tetap memungkinkan.

×
Berita Terbaru Update