Notification

×

Iklan

Iklan

banner 728x90

Indeks Berita

Pengusaha hotel di Kota Bandung merugi Rp 12,8 miliar pada Februari 2025 akibat pembatalan setelah diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025

Sabtu, 15 Februari 2025 | Februari 15, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-14T21:15:36Z


 Pengusaha hotel di Kota Bandung merugi Rp 12,8 miliar pada Februari 2025 akibat pembatalan setelah diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Ketua Perhimpunan Perhotelan dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat Dodi Ahmad Sofiandi mengatakan Inpres efisiensi anggaran tersebut membuat banyaknya pembatalan kegiatan seperti rapat dan acara pemerintahan lainnya yang biasa digelar di hotel.

"Dampak dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi sangat memukul industri perhotelan di Jawa Barat, khususnya di Bandung. Pangsa pasar meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) dari pemerintah bagi hotel berbintang tiga, empat, dan lima mencapai 40% hingga 50%," ujar Dodi Ahmad saat ditemui di Kota Bandung, Jumat (14/2/2025).

Akibat efisiensi anggaran tersebut, tingkat okupansi hotel di Jawa Barat turun drastis, dengan rata-rata hanya mencapai 35% hingga 40%.

"Khusus di Kota Bandung, pada Februari ini saja industri perhotelan mengalami kehilangan potensi bisnis sebesar Rp 12,8 miliar akibat pembatalan cara dari kementerian yang sebelumnya direncanakan berlangsung di Bandung," lanjutnya.

Dodi menjelaskan, jika kondisi ini terus berlanjut hingga setelah Lebaran dampaknya bisa sangat berat bagi industri perhotelan.

"Langkah paling pahit yang mungkin harus diambil adalah pemangkasan jumlah karyawan hingga 50%. Selain itu, pemangkasan juga akan terjadi di berbagai sektor pendukung hotel, seperti penyedia makanan dan minuman (F&B), housekeeping, serta vendor lainnya yang menyuplai kebutuhan hotel," tuturnya.

Situasi ini menciptakan efek domino yang cukup luas. Jika hotel mengalami penurunan pesanan secara drastis, vendor yang memasok barang ke hotel juga akan mengalami penurunan permintaan, yang berarti mereka pun kemungkinan besar harus melakukan pengurangan tenaga kerja.

Jika kondisi ini tetap berlangsung setelah Lebaran, maka industri perhotelan akan menghadapi tantangan besar. Para pemilik hotel saat ini masih bisa bertahan dengan tabungan yang mereka miliki. Namun, hotel membutuhkan tingkat okupansi minimal 50% hingga 55% agar bisa mencapai titik impas (break-even point).

"Saat ini, pendapatan hanya berkisar di angka 30%, yang berarti ada defisit sekitar 26%. Dengan defisit ini, daya tahan hotel rata-rata hanya bisa bertahan sekitar empat bulan," jelasnya.

PHRI Jawa Barat mengimbau pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan efisiensi anggaran ini demi keberlangsungan industri perhotelan dan sektor ekonomi yang terkait dengannya.

×
Berita Terbaru Update