Ketegangan perang dagang dan tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memunculkan sorotan terhadap rantai pasok global. Kali ini produsen asal China mengungkap biaya untuk produksi satu tas mewah yang ternyata tidak semahal harga jual di pasaran.
Melansir Indian Times, Jumat (18/4/2025), sebuah video viral yang diunggah akun media sosial @senbags2 menghebohkan jagat maya. Dalam video tersebut, seorang pria yang mengaku sebagai produsen tas mewah asal China membongkar fakta mengejutkan. Ternyata, mayoritas tas tangan berlabel mewah ternyata diproduksi di China, meskipun labelnya sering kali menyebut negara lain.
“Selama lebih dari 30 tahun, kami menjadi produsen OEM (original equipment manufacturer) untuk merek-merek besar, seperti Gucci, Prada, dan Louis Vuitton,” ungkapnya dalam video tersebut.“Meski kami yang memproduksi tas dengan kualitas tinggi dan keterampilan tinggi, nilai tambah utamanya justru dikantongi hanya oleh brand,” tambahnya dalam video viral tersebut.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai pergeseran geopolitik dan tekanan negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan pada manufaktur China.
“Banyak brand mencoba memindahkan produksi ke luar negeri. Namun, mereka segera menyadari bahwa pabrik-pabrik di luar sini tidak bisa menandingi standar kami. Biayanya jauh lebih mahal, efisiensinya rendah, dan infrastruktur kurang memadai,” tambah narasi tersebut.
Di tengah perang dagang yang terus meningkat, pernyataan ini memunculkan diskusi luas tentang transparansi biaya produksi di balik kemewahan label internasional. Apakan benar biaya produksi tas mewah mahal hingga harganya ikut terkerek?
Tak hanya itu, beberapa klip video lainnya yang beredar di platform X menunjukkan pemasok Tiongkok mengaku memproduksi barang-barang untuk merek, seperti Chanel, Estée Lauder, Bobbi Brown, dan lainnya.
Menariknya, beberapa dari mereka menawarkan produk serupa tanpa label merek, tetapi dengan bahan dan kualitas yang diklaim setara dengan barang bermerek.
Salah satu pernyataan yang paling mencengangkan datang dari pemasok tas Birkin. Ia mengungkapkan bahwa tas yang dijual dengan harga hingga US$ 34.000 (sekitar Rp 390 juta) sebenarnya hanya memerlukan biaya produksi sekitar US$ 1.400 (sekitar Rp 21 juta).
“Margin keuntungan kami tipis, sedangkan merek mendapatkan keuntungan besar hanya dari penempelan logo,” katanya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar bagi konsumen. Apakah harga selangit dari produk mewah benar-benar mencerminkan kualitas, atau sekadar nilai merek?
Dalam konteks perang dagang yang sedang berlangsung, informasi ini semakin membuka mata publik tentang bagaimana kekuatan manufaktur China tetap menjadi tulang punggung industri global, termasuk dalam hal biaya produksi tas mewah yang jauh lebih murah dibanding harga jualnya, meskipun tak selalu diakui secara terbuka oleh brand internasional.